Maret 17, 2012

Mencari Format Panduan Wisata yang Sesuai

Bukan, artikel ini bukanlah tips, tapi lebih kepada sebuah renungan.

Perjalanan selalu membutuhkan riset, kecuali perjalanan itu dilakukan ke daerah yang sudah kita kunjungi puluhan kali atau informasinya benar-benar lekat “luar kepala”.

Setiap riset perjalanan di zaman modern selalu didahului dengan dunia digital: mencari lewat mesin pencari, mengunduhnya jika perlu, lalu mengatur anggaran dan rencana perjalanan lewat perangkat digital pula. Bahkan, pemesanan tiket dan akomodasi pun dilakukan melalui internet.

Ketika sudah sampai di lokasi, apa yang kita lakukan? Kita membuka buku panduan wisata, yang juga pula ada versi digitalnya. Semua disematkan di dalam sebuah aplikasi mobile yang mungil namun memikat. Lebih luas dari itu, ada panduan wisata yang kemudian memuat embel-embel “sosial”, ketika kita bisa membagi pengalaman perjalanan dengan semua orang walaupun orang lain tidak ikut bersama kita.

Namun, apakah semua ini sesuai dengan karakter pelaku perjalanan? Ketika kita berwisata, apa yang menjadi fokus utama kita? Menikmati perjalanan, bukan? Apakah pernah kita alami di sela-sela perjalanan yang kita lakukan, kita justru sibuk melihat layar ponsel atau perangkat keras yang ada di tangan?

Banyak aplikasi mobile justru lebih cocok digunakan di negara maju yang koneksi internet nirkabelnya cukup baik sehingga dapat menerima dan mengirim data secara konstan tanpa hambatan berarti. Namun, apa yang terjadi ketika berkelana di negara yang koneksi internet nirkabelnya cukup buruk, misalnya, Indonesia?



Konsumsi baterai menjadi pertimbangan utama. Selain itu, ketersediaan paket data yang hemat dan berkualitas menjadi pertimbangan lain. Jangan sampai kita justru sibuk mencari koneksi data sehingga pengalaman autentik terlewatkan.

Bagaimana dengan buku panduan versi cetak? Pilihan banyak dan tak harus tergantung oleh koneksi data. Boleh saja, tetapi pengalaman saya pribadi menunjukkan bahwa buku termasuk tidak cukup ringkas untuk dibawa-bawa. Yang tepat barangkali adalah buku yang ukurannya kecil dan informasinya singkat namun akurat. Buku panduan wisata yang tebal cenderung lebih cocok dipelajari sebelum perjalanan, atau ketika punya waktu luang.

Nah, seperti apakah panduan wisata yang ideal? Menurut saya, sebuah panduan wisata itu harus mudah diakses tanpa bergantung koneksi data atau fisik yang terlalu memberatkan. Selanjutnya, panduan wisata itu harus memberikan informasi yang jujur dan memberikan edukasi.

Edukasi di sini bukan berarti menggurui, tetapi mengajak pemirsanya untuk ikut memikirkan kepentingan lokal, misalnya memberitahu bisnis-bisnis lokal yang baik untuk dikunjungi dan dibeli produksinya, dibanding berbelanja di sentra-sentra perbelanjaan kapitalis seperti mal.

Jika panduan wisata itu harus dibawa-bawa, maka usahakan ia tidak mengganggu perjalanan utama dan tidak mengkonsumsi baterai alat terlalu cepat. Jika unsur multimedia dan visual sangat dipentingkan, maka ia lebih cocok dikonsumsi ketika kita dalam kondisi diam, seperti di tempat akomodasi, atau justru dalam proses perencanaan sebelum melakukan perjalanan.

Satu hal yang lagi yang luput dari kebanyakan panduan wisata adalah alur cerita (storytelling). Ketika disodorkan dengan berbagai pilihan informasi, pengguna belum tentu tahu mana yang baik buatnya. Lebih dari sekadar rekomendasi, panduan wisata harus bisa menyuguhkan kemasan cerita yang menarik untuk diikuti oleh pengguna, layaknya “menonton” sebuah film hidup, atau menyusuri sebuah museum hidup.

Contohnya, jika berkeliling Jakarta, kita bisa mengemasnya menjadi urut-urutan tertentu, misalnya sesuai narasi kronologis sejarah. Selain belajar tentang sejarah secara tekstual, pengguna pun dapat melihat kondisi terkini situs yang dikunjunginya. Dengan begitu, ia tidak hanya berusaha memenuhi harapan-harapannya, tetapi juga menerima kondisi riil yang ada dan menjadikannya sebuah pembelajaran. Ini semua merupakan bagian dari wadah besar bernama "responsible travel".


sumber