Mei 12, 2012

Misteri Gunung Salak


BOGOR--Boleh dikata Gunung Salak yang ada di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menjadi “kuburan” pesawat terbang karena sudah sering kecelakaan pesawat terjadi di gunung ini. Bahkan banyak orang yang mengaitkan gunung ini dengan hal-hal mistis, diantaranya karena selimut tebal kabut di gunung ini yang bagi sebagian orang dianggap misterius. Namun, secara logika, kabut tebal di gunung ini memang secara tidak langsung akan mengganggu perjalanan pesawat terbang seperti terjadi pada pesawat buatan Rusia, Sukhoi Superjet (SJJ) 100 yang diduga menabrak tebing gunung ini. Bagi pegiat alam bebas, karakteristik gunung tersebut terbilang unik dibandingkan gunung-gunung lain di Pulau Jawa. Karakteristiknya menyerupai gunung di Bukit Barisan yang membelah Sumatera. Gunung Salak juga menelan banyak korban dari kalangan pendaki gunung. Medannya yang ekstrem ditambah hutan yang lebat membuat orang yang kurang memahami alam bebas, tersesat. Mengutip Wikipedia, hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane forest). Bagian bawah kawasan hutan, semula adalah hutan produksi kelolaan Perum Perhutani. Di antara jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam (Pinus merkusii), rasamala (Altingia excelsa). Pada beberapa lokasi, terutama arah Cidahu, Sukabumi, ditemukan pula jenis tumbuhan langka bernama Rafflesia rochussenii yang menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya. Bukan Jalur Penerbangan Lalu, mengapa Gunung Salak disebut sebagai “kuburan” pesawat terbang? Dari catatan sejumlah media online, di gunung yang masuk ke wilayah Taman Nasional Gunung Salak Halimun ini memang kerap terjadi rangkaian kecelakaan pesawat. Pada 15 April 2004, pesawat Paralayang Red Baron GT 500 milik Lido Aero Sport, jatuh di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Tiga orang tewas akibat kecelakaan ini. 20 Juni 2004, pesawat Cessna 185 Skywagon, jatuh di Danau Lido, Cijeruk, Bogor. Lima orang tewas. Kemudian pada Juni 2008, pesawat Casa 212 TNI AU jatuh di Gunung Salak di ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut. Kecelakaan ini menewaskan 18 orang. 30 April 2009, tiga orang tewas setelah kecelakaan terjadi pada pesawat latih Donner milik Pusat Pelatihan Penerbangan Curug jatuh di Kampung Cibunar, Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor. Selanjutnya yang terakhir ini, pesawat SSJ-100 buatan Rusia berpenumpang 46 orang jatuh pada 9 Mei 2012. Sejumlah kalangan keheranan mengapa Sukhoi yang malang ini turun ke ketinggian yang justru di bawah tinggi gunung. Staf Ahli Menristek Bidang Pertahanan Keamanan Hari Purwanto bahkan menyatakan penerbangan melalui kawasan Gunung Salak seharusnya tidak dilakukan pada ketinggian 6.000 kaki karena tinggi gunung itu sendiri sekitar 2.200 meter. Belum lagi awan tebal selalu meliputi pegunungan itu. “Biasanya penerbangan dari Halim menuju Pelabuhan Ratu di ketinggian 12.000 kaki dan standar minimum 8.000 kaki, tapi Sukhoi ini terbang dari ketinggian 10.000 kaki, mengapa turun ke 6.000 kaki,” kata Hari Purwanto di Makassar, Kamis. Pesawat Sukhoi Super Jet 100 buatan Rusia yang sempat hilang kontak saat Joy Flight dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu diperkirakan menabrak pinggir tebing Gunung Salak. 45 orang yang menumpangi pesawat ini diperkirakan tewas. Hari menyebutan tiga faktor yang mungkin menyebabkan sebuah pesawat jatuh di Gunung Salah. Ketiganya adalah faktor cuaca, faktor kesalahan manusia, dan faktor kelaikan pesawat. Ia mengingatkan bahwa jalur penerbangan Bandara Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu via Gunung Salak, bukan jalur penerbangan. Pun bukan area aman untuk penerbangan, apalagi bagi pilot yang tidak terlalu mengerti medan di sana. Pesawat Sukhoi yang telah dipesan penerbangan swasta Indonesia untuk penerbangan komersil itu diakuinya sudah diuji di sejumlah negara lain sebelum diuji di Indonesia, seperti Myanmar atau negara yang pasarnya terbuka bagi pesawat di luar Boeing, Airbus dan lainnya. Hari mengungkapkan, di masa lalu, semua pesawat yang akan digunakan di Indonesia harus melalui kajian (review) teknologi dari BPPT. Namun sejak satu dekade ini review itu tidak dilakukan lagi.


sumber