November 23, 2011

Atlet cyber bergaji bulanan




Para Atlet Cyber Bergaji Bulanan


Fnatic DOTA Team Indonesia:
Dari Kiri: Ritter ”RitteR” Rusli (20), Sugiarto ”BaHaMuT” Cahyadi (21), Ariyanto ”Lakuci” Sony (22), Romi ”melen” Gunawan (25) dan Farand ”Koala” Kowara (19).

Berjalan di sebuah area kompetisi game strategi Defense of the Ancients di Jakarta bulan lalu, Romi tiba-tiba dihentikan rombongan anak muda. ”Anggota Fnatic, kan? Potret-potret dulu, dong,” kata anak muda itu.
Layaknya selebriti, Romi melayani para penggemarnya berfoto. Hanya penggemar game yang tahu apa itu Fnatic dan apa yang dikerjakan Romi sebenarnya.
Romi bersama empat orang temannya, kini menjalani profesi yang terbilang aneh di Indonesia: menjadi pro-gamer atau professional gamer. Sesuatu yang belum akrab didengar di telinga kebanyakan orang.
”Kami sudah lama menjadi gamer, baru beberapa bulan ini kami dikontrak perusahaan Fnatic,” kata Romi ”melen” Gunawan (25) yang masih kuliah di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Tarumanagara.
Anggota lainnya adalah Ariyanto ”Lakuci” Sony (22), kuliah di Fakultas Ilmu Komputer Jurusan Komputer Akuntansi Universitas Bina Nusantara (Binus); Ritter ”RitteR” Rusli (20), kuliah di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Tarumanagara; Sugiarto ”BaHaMuT” Cahyadi (21), kuliah di Fakultas Ilmu Komputer Jurusan Teknik Informatika Binus; dan Farand ”Koala” Kowara (19).

Awal bertemu
Pemain pro-gamer juga punya orangtua biasa yang selalu mengomel jika anaknya berlebihan main game. Seperti anak-anak lainnya, anggota Fnatic dulu juga bermasalah.
”Orangtua saya dulu juga ngomel, tetapi sekarang sudah mendukung,” kata Ritter. ”Kalau saya enggak ada yang melarang main game soalnya saya indekos, he-he-he,” ujar Romi.
”Saya juga punya pengalaman yang sama. Bahkan, kalau sampai pukul 24.00 malam belum pulang, saya dijemput orangtua di warnet, disuruh cepat pulang, malu banget,” kata Ariyanto.
Romi dan kawan-kawan dulu bertemu saat bermain game di warung internet atau warnet sejak tahun 2005 di Jakarta. ”Waktu itu kami sudah main Defense of the Ancients (DotA). Sebenarnya kami berasal dari dua kubu bersaing waktu itu. Tiap kompetisi kami sering bertemu sebagai musuh,” kata Romi.
Ariyanto dan Sugiarto berasal dari tim ”Emporium”, sedangkan Romi dan Ritter dari Tim ”Big”. Dua tim ini selalu berseteru, tetapi tiba-tiba mereka memutuskan bersatu.
”Kami kemudian bersatu bulan September 2006 di bawah bendera Xcn atau Executioner. Xcn ini tim di pemain game Indonesia, istilahnya Xcn ini seperti Fnatic-nya Indonesia-lah,” kata Sugiarto.
”Kami bersatu karena ingin melawan negara luar,” papar Ariyanto. Di bawah Xcn, mereka beberapa kali juara, di antaranya juara I Asian DotA Championship (2007), juara I Game Extreme Leagua (GXL) di Singapura (2007), dan juara II Electronic Sport Thailand Championship (ESTC) (2007). ”Setelah itu, kami ditawari Fnatic bergabung, kami pun pindah ke Fnatic sejak Agustus 2008,” katanya.
Fnatic merupakan perusahaan dengan label yang sedang keren saat ini: e-Sport atau electronic sport. Basisnya di Australia, tetapi memiliki kantor di beberapa negara di Eropa, seperti Inggris dan Belanda. Dominasi Fnatic di tiap pertandingan game sudah tak terbantahkan lagi.
Di bidang game strategi online, Fnatic merajai daratan Eropa dan dunia. Tim Indonesia merupakan satu-satunya yang dimiliki Fnatic dengan konsentrasi game DotA.
Dengan masuknya Indonesia di Fnatic, nama Indonesia masuk enam besar negara penghasil gamer profesional terbaik. Sejajar negara-negara besar yang unggul dalam teknologi dan sumber daya game yang dipercayai Fnatic, yaitu Amerika Serikat (World of Warcraft), Korea Selatan (Warcraft3), Norwegia (Counter-Strike), Swedia (Call of Duty4), dan Spanyol (FIFA).
Baru bergabung sekitar tiga bulan, di bawah Fnatic, berbagai gelar juara telah disabet tim DotA Indonesia, di antaranya juara I World GameMaster Tournament (WGT) yang digelar Asus di Jakarta, juara I WGT di Singapura, juara I Make Games Colourfull (MGC) di China, dan juara I Indonesia Game Show (IGS) di Jakarta.
Fnatic merupakan perusahaan profit yang ternama. Karena itu, para atletnya diberi fasilitas baik. ”Semua kebutuhan main game disediakan, termasuk kebutuhan ke luar negeri untuk bertanding. Kami terima gaji per bulan,” kata Romi.
Fnatic mendapat keuntungan dari sponsor, misalnya MSI Notebook, Steelseries, dan Bestpoker.com. ”Banyak juga barang elektronik yang menggunakan merek Fnatic, jadi Fnatic juga memperoleh pendapatan dari lisensi merek,” kata Ariyanto.
Di Indonesia, sistem seperti ini belum ada. ”Padahal, kami juga serius menekuni dunia ini. Kami profesional, seperti halnya pemain sepak bola, kami atlet cyber,” ujar Romi.
Di negara maju seperti Korea, perusahaanlah yang mencari pemain untuk dijadikan ikon produk mereka. ”Di Indonesia, para pemain yang berjuang mencari perusahaan sponsor, itu pun selalu gagal,” kata Ritter.
Bagi Indonesia, pro-gamer Fnatic ini telah membuka lembaran sejarah baru perkembangan profesi gamer profesional yang bergaji bulanan. Ternyata, game bisa membuka peluang kerja jika ditekuni.

Dukungan pemerintah
Mereka sadar, publik Indonesia, termasuk pemerintah, belum terbiasa memandang game sebagai peluang. Menjadikan pro-gamer di Indonesia sebagai cita-cita mengandung risiko tinggi karena iklim tak mendukung.
”Kalo bisa, pemerintah dukung pro-gamer karena pro-gamer bertarung keluar negeri itu membawa nama Indonesia juga,” kata Ariyanto menekankan.
Mereka pernah bertanding di Singapura dan terkejut melihat tim negara lain semangat membawa panji-panji negaranya. ”Kita lihat tim negara lain datang berseragam dengan atribut negara. Lha, kita datang santai saja karena kita pikir tak ada kaitannya dengan negara,” kata Romi.
Terasa sedih menyadari kalau mereka datang sendirian. Tak ada dukungan dari negara, padahal mereka juga mendambakannya. ”Iri juga kalau melihat perlakuan pemerintah di luar negeri terhadap pro-gamer,” kata Sugiarto.
Melihat minimnya dukungan, apa mereka akan terus menekuni pro-gamer? ”Lihat-lihat dulu, sampai sekarang kayaknya belum bisa kalau hanya mengandalkan pro-gamer saja. Kita masih terpola untuk bekerja di sektor formal, harus ngantor, sedih juga sih sebenarnya,” kata Ariyanto.